Friday, November 29, 2013

870 Dokter Asing Siap Serbu Indonesia

JAKARTA - Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) mengeluarkan warning rencana serbuan dokter-dokter asing ke tanah air. Mereka bakal memperebutkan pemberian layanan kesehatan primer masyarakat. PDKI meminta dokter-dokter Indonesia meningkatkan kualitas dan kompetensi di bidang pelayanan pirmer.
Ketua PDKI Amrin Nurdin mengatakan, masuknya dokter-dokter asing itu secara resmi. Mereka memanfaatkan era persaingan bebas dan kesepakatan masyarakat ASEAN 2015 nanti. "Serbuan dokter-dokter asing ini harus disikapi secara bicaksana. Salah satunya adalah kita, dokter-dokter Indonesia harus meningkatkan kualitas," katanya dalam seminar Jaminan Kesehatan Nasional Berbasis Promotif dan Preventif di Jakarta, Minggu (27/10). Seminar ini diikuti sekitar 300 orang dokter umum.

Amrin menuturkan dokter asing yang sudah siap membuka jasa pelayanan di Indonesia sedikitnya ada 870 orang. Mereka akan fokus memberikan pelayanan home visit atau dokter kunjung keluarga. "Mereka masuk ke Indonesia dengan membawa berbagai perlengkapan kesehatan yang sangat memadai," tandasnya.

Menurut Amrin kondisi itu harus menjadi pemacu semangat dokter-dokter Indonesia untuk meningkatkan kemampuannya. "Khususnya untuk menjadi dokter layanan primer dan menjadi dokter keluarga," papar dia.

Amrin juga menyoroti pemberlakuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) per 1 Januari 2014 nanti. Pada periode itu, mengharuskan para dokter layanan primer memahami konsep dokter keluarga. Keberadaan dokter keluarga, dinilai mampu menignkatkan peran keluarga dalam menjaga kesehatan dan mencegah penyakit atau kesakitan.

Jika masyarakat nanti tahu cara memelihara kesehatan, mereka jarang sakit. Jika jarang sakit, klaim asuransinya tidak banyak terpakai. Itu artinya terjadi penghematan dalam biaya kesehatan masyarakat. "Oleh karena itu pada sistem asuransi kesehatan massal seperti JKN, keberadaan dokter keluarga sangat penting," paparnya. Upaya pencegahan terhadap penyakit akan lebih dominan terhadap upaya pengobatan atau penyembuhan.

Kondisi saat ini menurut Amrin, dari 80 ribu dokter praktek umum atau dokter layanan primer Indonesia, baru sekitar 5 ribu (6,25 persen) memiliki pemahaman baik tentang perannya sebagai dokter keluarga. Padahal di sejumlah negara, konsep dokter keluarga sudah sangat popular.

Sebab masyarakat setempat sudah paham bahwa penanganan oleh satu dokter yang dipercaya,biayanya jauh lebih irit. Selain itu resiko keluarga juga lebih kecil ketimbang harus berganti-ganti dokter. Dia menegaskan dokter keluarga adalah dokter praktek umum.
Hanya dalam prakteknya, mereka menggunakan pendekatan kedokteran keluarga. Pendekatan ini memiliki empat prinsip. Yaitu pelayanan yang diberikan bersifat personal (individual), pelayanan bersifat primer atau dasar, pelayanan senantiasa mengupayakan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi. Dan yang terakhir adalah pelayanan bersifat berkelanjutan. Pada kesempatan ini Amrin mengatakan ada 15 ribu dokter umum menjalani pelatihan menjadi dokter keluarga.

Kendati demikian, mereka tidak bisa langsung dengan mudah masuk ke dalam pusat pelayanan kesehatan. Sebab akan banyak aturan yang harus mereka lengkapi. Sebelumnya pihak Kementerian Kesehatan menegaskan hal tersebut. "Tentu saja mereka tidak bisa langsung melakukan praktek," ujar Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi.

Sejauh ini, lanjutnya, tenaga asing yang bisa masuk ke Indonesia baru sebatas ahli teknis di bidang kedokteran. Mereka sengaja diminta untuk memberikan arahan mengenai alat kesehatan ataupun seminar pendidikan kedokteran. Hampir jarang sekali ditemui adanya dokter asing praktek yang membuka secara langsung layanannya.

"Mereka pun mendapat pendampingan dari dokter Indonesia dalam penyampaiannya, bukan praktek mandiri," tandas Menkes. Sehingga, menurutnya, tidak akan mudah begitu saja para dokter asing ini masuk ke Indonesia. Pihaknya juga akan melakukan perlindungan untuk dokter-dokter lokal. Oleh karenanya, ia meminta para dokter di Indonesia untuk mau bekerja sama meningkatkan kualitas kerja mereka agar tidak kalah dengan para dokter asing
Sumber : http://www.jpnn.com/read/2013/10/28/197889/870-Dokter-Asing-Siap-Serbu-Indonesia-

Thursday, November 28, 2013

Dr Lo Siaw Ging: Dokter Tanpa Tarif ----->Asli Wong Solo

 Dr Lo Siaw Ging: Dokter Tanpa Tarif ----->Asli Wong Solo




Nama lengkapnya Lo Siaw Ging, namun ia lebih dikenal dengan panggilan dokter Lo. Di Solo, Jawa Tengah, dokter keturunan Tionghoa berusia 78 tahun ini populer bukan hanya karena diagnosa dan obat yang diberikannya selalu tepat, tapi juga karena ia tidak pernah meminta bayaran dari pasiennya.
Setiap hari, kecuali Minggu, puluhan pasien antre di ruang tunggu prakteknya. Mereka berasal dari berbagai kalangan, mulai tukang becak, pedagang kaki lima, buruh pabrik, karyawan swasta, pegawai negeri, hingga pengusaha. Pasiennya tidak hanya datang dari Solo, tetapi juga kota-kota di sekitarnya, seperti Sukoharjo, Sragen, Karanganyar, Boyolali, Klaten, dan Wonogiri.
Dokter Lo menjadi istimewa karena tidak pernah memasang tarif. Ia juga tak pernah membedakan pasien kaya dan miskin. Ia justru marah jika ada pasien yang menanyakan ongkos periksa padahal ia tidak punya uang. Bahkan, selain membebaskan biaya periksa, tak jarang Lo juga membantu pasien yang tidak mampu menebus resep. Ia akan menuliskan resep dan meminta pasien mengambil obat ke apotek tanpa harus membayar. Pada setiap akhir bulan, pihak apotek yang akan menagih harga obat kepada sang dokter.
Perlakuan ini bukan hanya untuk pasien yang periksa di tempat prakteknya, tapi juga untuk pasien-pasien rawat inap di rumah sakit tempatnya bekerja, RS Kasih Ibu. Alhasil, Lo harus membayar tagihan resep antara Rp 8 juta hingga Rp 10 juta setiap bulan. Jika biaya perawatan pasien cukup besar, misalnya, harus menjalani operasi, Lo tidak menyerah. Ia akan turun sendiri untuk mencari donatur. Bukan sembarang donatur, sebab hanya donatur yang bersedia tidak disebutkan namanya yang akan didatangi Lo.
“Beruntung masih banyak yang percaya dengan saya, ” kata dia.
Di mata pasien tidak mampu, Lo memang bagaikan malaikat penolong. Ia menjungkirbalikan logika tentang biaya kesehatan yang selama ini sering tak terjangkau oleh pasien miskin. Apa yang dilakukan Lo juga seperti membantah idiom “orang miskin dilarang sakit”.
“Saya tahu pasien mana yang mampu membayar dan tidak. Untuk apa mereka membayar ongkos dokter dan obat kalau setelah itu tidak bisa membeli beras? Kasihan kalau anak-anaknya tidak bisa makan, ” kata dia.
Gaya bicaranya tegas cenderung galak. Tidak jarang ia memarahi pasien yang menganggap enteng penyakit. Ia bercerita pernah benar-benar sangat marah kepada seorang ibu karena baru membawa anaknya ke ruang prakteknya setelah mengalami panas tinggi selama empat hari.
“Sampai sekarang masih banyak orang yang bersikap seperti itu. Memangnya penyakit itu bisa sembuh dengan sendirinya. Kalau sakit ya harus segera dibawa ke dokter. Jangan melakukan diagnosa sendiri, ” ujar anak ke 3 dari 5 bersaudara itu.
Toh meski galak, Lo tetap dicintai. Ia menjadi rujukan berobat terutama bagi mereka yang tidak mampu. Namun dokter lulusan Universitas Airlangga Surabaya ini merasa apa yang ia lakukan bukan sesuatu yang luar biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan.
“Tugas dokter itu menolong pasiennya agar sehat kembali. Apa pun caranya. Saya hanya membantu mereka yang membutuhkan pertolongan dokter. Tidak ada yang istimewa, ” ujar dokter yang buka praktek di rumahnya, Kampung Jagalan, Jebres, Solo.
Dokter Sederhana
Lahir di Magelang, 16 Agustus 1934, Lo tumbuh dalam sebuah keluarga pengusaha tembakau yang moderat. Orang tuanya, Lo Ban Tjiang dan Liem Hwat Nio, memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih apa yang dinginkan. Salah satunya adalah ketika Lo ingin melanjutkan SMA ke Semarang, karena dia menganggap tidak ada SMA yang kualitasnya bagus di Magelang ketika itu.
Setamat SMA, Lo menyatakan keinginannya untuk kuliah di kedokteran. Ketika itu, ayahnya hanya berpesan jika ingin menjadi dokter jangan berdagang. Sebaliknya jika ingin berdagang, jangan menjadi dokter. Rupanya, nasehat itu sangat membekas di hati Lo. Maksud nasehat itu, menurut Lo, seorang dokter tidak boleh mengejar materi semata karena tugas dokter adalah membantu orang yang membutuhkan pertolongan. Kalau hanya ingin mengejar keuntungan, lebih baik menjadi pedagang. .
”Jadi siapa pun pasien yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus melayani dengan baik. Membantu membantu orang itu tidak boleh membeda-bedakan. Semuanya harus dilakukan dengan ikhlas. Profesi dokter itu menolong orang sakit, bukan menjual obat, ” ujar suami dari Gan May Kwee ini.
Menjadi dokter sejak 1963, Lo mengawali karir dokternya di poliklinik Tsi Sheng Yuan milik Dr Oen Boen Ing (1903-1982), seorang dokter legendaris di Solo. Pada masa orde baru, poliklinik ini berkembang menjadi RS Panti Kosala, dan kini berganti nama menjadi RS Dr Oen.
Selain dari ayahnya, Lo mengaku banyak belajar dari Dr Oen. Selama 15 tahun bekerja pada seniornya itu, Lo mengerti benar bagaimana seharusnya menjadi seorang dokter.
”Dia tidak hanya pintar mengobati, tetapi juga sederhana dan jiwa sosialnya luar biasa, ” kata mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo.
Apa yang dikatakan Lo tentang membantu siapa pun yang membutuhkan itu bukanlah omong kosong. Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998 lalu misalnya, Lo tetap buka praktek. Padahal para tetangganya meminta agar dia tutup karena situasi berbahaya, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo tetap menerima pasien yang datang. Para tetangga yang khawatir akhirnya beramai-ramai menjaga rumah Lo.
“Banyak yang butuh pertolongan, termasuk korban kerusuhan, masak saya tolak. Kalau semua dokter tutup siapa yang akan menolong mereka?” kata Lo yang juga lulusan Managemen Administrasi Rumah Sakit (MARS) dari Universitas Indonesia.
Hingga kerusuhan berakhir dan situasi kembali aman, rumah Lo tidak pernah tersentuh oleh para perusuh. Padahal rumah-rumah di sekitarnya banyak yang dijarah dan dibakar.
Kini, meski usianya sudah hampir 80 tahun, Lo tidak mengurangi waktunya untuk tetap melayani pasien. Setiap hari, mulai pukul 06. . 00 sampai 08. 00, dia praktek di rumahnya. Selanjutnya, pukul 09. 00 hingga pukul 14. 00, Lo menemui para pasiennya di RS Kasih Ibu. Setelah istirahat dua jam, ia kembali buka praktek di rumahnya sampai pukul 20. 00.
“Selama saya masih kuat, saya belum akan pensiun. Menjadi dokter itu baru pensiun kalau sudah tidak bisa apa-apa. Kepuasan bagi saya bisa membantu sesama, dan itu tidak bisa dibayar dengan uang, ” ujar dokter yang sejak beberapa tahun lalu berjalan dengan bantuan tongkat ini.
Menurut Lo, istrinya memiliki peran besar terhadap apa yang ia lakukan. Tanpa perempuan itu, kata Lo, ia tidak akan bisa melakukan semuanya.
“Dia perempuan luar biasa. Saya beruntung menjadi suaminya, ” ujar Lo tentang perempuan yang ia nikahi tahun 1968 itu.
Puluhan tahun menjadi dokter, dan bahkan pernah menjadi direktur sebuah rumah sakit besar, kehidupan Lo tetap sederhana. Bersama istrinya, ia tinggal di rumah tua yang relatif tidak berubah sejak awal dibangun, kecuali hanya diperbarui catnya. Bukan rumah yang megah dan bertingkat seperti umumnya rumah dokter.
“Rumah ini sudah cukup besar untuk kami berdua. Kalau ada penghasilan lebih, biarlah itu untuk mereka yang membutuhkan. Kebutuhan kami hanya makan. Bisa sehat sampai usia seperti sekarang ini saja, saya sudah sangat bersyukur. Semakin panjang usia, semakin banyak kesempatan kita untuk membantu orang lain, ” kata Lo yang selama 43 tahun perikahannya dengan Gan May Kwee tidak dikaruniai anak.
Di tengah biaya obat-obatan yang mahal, pelayanan rumah sakit yang sering menjengkelkan, dan dokter yang lebih sering mengutamakan materi, keberadaan Lo memang seperti embun yang menyejukkan. Rasanya, sekarang ini tidak banyak dokter seperti Dr Lo. (Ganug Nugroho Adi)

Sumber : http://solografi.com/2013/11/16/lo-siaw-ging-dokter-tanpa-tarif/

Syarat & Kalender Uji Kompetensi Dokter Indonesia Periode 2014

Syarat Pendaftaran

PERSYARATAN PESERTA UJIAN REGULER

  1. Warga Negara Indonesia
  2. Warga Negara Asing, harus melaporkan kepada Kolegium Dokter Primer Indonesia untuk mendapatkan surat pengantar mengikuti Uji Kompetensi
  3. Peserta yang dapat mengikuti Uji Kompetensi adalah mahasiswa pendidikan dokter yang telah menyelesaikan dan lulus tahap kepaniteraan klinik dibuktikan dengan surat keterangan Dekan/Ketua Program Studi Profesi Dokter
  4. Peserta uji kompetensi ini adalah peserta mulai periode tahun 2013 dan seterusnya
  5. Bagi yang belum lulus, tidak diijinkan untuk mendaftar uji kompetensi
  6. Bagi peserta yang mengulang uji kompetensi harus mengikuti program remedial di institusi asal peserta yang dibuktikan dengan surat keterangan telah mengikuti program remedialyang harus sudah diserahkan maksimal 2 (dua) minggu sebelum pelaksanaan ujian
  7. Bersedia mentaati dan mematuhi peraturan yang telah ditentukan oleh panitia uji kompetensi

PERSYARATAN PESERTA UJIAN KHUSUS

  1. Warga Negara Indonesia
  2. Warga Negara Asing, harus melaporkan kepada Kolegium Dokter Primer Indonesia untuk mendapatkan surat pengantar mengikuti Uji Kompetensi
  3. Peserta mengulang atau belum dinyatakan lulus ujian kompetensi dokter Indonesia pada saat belum EXIT EXAM atau pada periode ujian November 2012 dan sebelumnya
  4. Wajib mengikuti program remediasi di institusi asal sesuai dengan program remedial yang dilakukan oleh AIPKI dan KDPI
  5. Bersedia mentaati dan mematuhi peraturan yang telah ditentukan oleh panitia uji kompetensi

 Kalender Uji Kompetensi Dokter Indonesia
Periode 2014 

 

Kegiatan
Batch 1
Batch 2
Batch 3
Batch 4
Pembukaan Registrasi Online UK-CBT
06 Jan 2014
03 Apr 2014
02 Jul 2014
01 Okt 2014
Penutupan Registrasi Online & Batas Akhir Penerimaan Dokumen UK-CBT (cap pos)
18 Jan 2014
21 Jan 2014
17 Apr 2014
19 Apr 2014
16 Jul 2014
18 Jul 2014
15 Okt 2014
17 Okt 2014
Pelaksanaan UK - CBT
15 Feb 2014
17 Mei 2014
23 Agt 2014
15 Nov 2014
Pelaksanaan UK - OSCE
22 Feb 2014
24 Mei 2014
30 Agt 2014
22 Nov 2014
Standard Setting
06 Mar 2014
-
-
-
Pengumuman UK
22 Mar 2014
24 Jun 2014
30 Sep 2014
22 Des 2014

Wednesday, November 27, 2013

Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)


PEMERIKSAAN ELEKTROKARDIOGRAFI (EKG)

            Pemeriksaan Elektrokardiografi merupakan pemeriksaan penunjang yang amat penting dan sangat sering dilaksanakan, baik untuk mendeteksi kelainan jantung, konfirmasi diagnosis, maupun hanya sekedar sebagai alat screening saja. Penggunaannya pun sangat luas, tidak hanya mampu mendeteksi kelainan pada jantung saja namun beberapa kelainan mampu terdeteksi oleh pemeriksaan EKG ini, contohnya kelainan elektrolit, penyakit paru, bahkan kelainan pada intrakranial mampu dideteksi.

MENGAPA SEORANG CALON DOKTER HARUS BISA MEMBACA EKG?
            Berikut kami sampaikan berbagai alasan mengapa seorang mahasiswa kedokteran/koasisten/calon dokter harus bisa membaca EKG.
  1.            Kompetensi Dokter Umum
  2.            Bekal Berharga Dalam Praktek Klinis
  3.      Nilai Tambah Dalam Dunia Kerja.
  4.      Mempermudah Dalam Mengikuti Program ACLS
  5.       Penyakit Jantung Tidak Mungkin Lepas dari EKG

MENGAPA DIPERLUKAN PELATIHAN PEMBACAAN EKG?
            Walaupun EKG sangat luas pemakaiannya dan sangat sering dilakukan di rumah sakit, maupun laboratorium klinik, namun kebanyakan tenaga medis, baik dokter maupun perawat masih belum lancar, bahkan awam dalam pembacaan hasil perekaman EKG ini.
Berikut akan kami sampaikan alasan-alasan mengapa diperlukan kursus atau pelatihan intesnif EKG

  1.       Belajar EKG Membutuhkan Waktu yang Lama Apabila Tidak Dibimbing.
  2.       Pengenalan Kelainan EKG Belum Diajarkan di Perkuliahan.
  3.       Belajar EKG Sendiri Tanpa Dibimbing dapat Berpotensi Salah.
  4.       Kesulitan Mencari Bimbingan Ahli.
  5.     Banyak Buku dan Sumber Pembelajaran EKG Tidak Memberikan Pemahaman Yang Jelas.
  6.       Tidak Semua Buku EKG Menyajikan Ilmu EKG Yang Benar Dan Terpercaya.
  7.       Tidak Cukup Hanya Membaca Satu Buku EKG Untuk Dapat Menguasai EKG.
  8.       Kelainan di EKG Sangat Banyak


Pendidikan profesi kedokteran atau koasistensi di rumah sakit pun tidak membantu calon dokter dalam memahami bacaan EKG dikarenakan tidak adanya dokter spesialis yang mau membimbing mereka secara bertahap dan dengan detail. Dimungkinkan juga karena kesibukan dokter tersebut dan tugas-tugas yang dihadapi koasisten menjadikan waktu untuk belajar mengenai EKG menjadi sangat sedikit.

Pengertian dari OSCE


OSCEadalah Alat untuk menilai komponen kompetensi klinik seperti history taking, pemeriksaan fisik, procedural skill, ketrampilan komunikasi, interpretasi hasil lab, managemen dan lain-lain yang diuji menggunakan checklist yang telah disetujui dan mahasiswa akan mengikuti beberapa station. OSCE pertama kali diperkenalkan oleh Harden dari Universitas Dundee(1975) yaitu berupa rangkaian 2 – 20 “station” yang masing-masing menggunakan waktu 5-15 menit.
Objective Structured Clinical Examination (OSCE) merupakan bagian dari sistem asessment. Tujuan OSCE yaitu menilai kompetensi dan ketrampilan klinis mahasiswa secara objektif dan terstruktur. Tahun 2013, Dikti akan melaksanakan OSCE Nasional sebagai salah satu syarat menjadi dokter setelah dinyatakan lulus/kompeten dari ujian OSCE ini.
Untuk lulus dari FK, mahasiswa harus mengikuti serangakaian tes. Meliputi Computer Based Test (CBT) dan OSCE itu sendiri. CBT merupakan suatu tes yang menguji pengetahuan mahasiwa dalam bidang kedokteran. Sedangkan OSCE adalah tes  yang menguji skill dan profesionalisme mahasiswa dalam berperan sebagai dokter.
Dalam tes OSCE, semua kandidat mendapat soal yang sama sehingga tes ini objektif. Adapun area kompetensi yang diujikan adalah anamnesis, pemeriksaan fisik, interpretasi data untuk menunjang diagnosis, tata laksana, komunikasi dan edukasi, serta prilaku profesional. Tes OSCE yang terdiri dari 12 station ini mempunyai beberapa macam variasi yaitu pasient based, clinical task, dan written task. Di setiap station tes, para kandidat diberi waktu sekitar 15 menit dengan pertanda bel dan waktu istirahat di pertengahan station.  “Station” OSCE dapat berupa berbagai metode ujian termasuk antara lain “soal pilihan ganda” atau “Essay Test” , namun yang sering digunakan adalah “encounter clinic” dimana mahasiswa berinteraksi dengan standardized patient” .

STRUKTUR OSCE
OSCE berupa rangkaian beberapa “STATION” pendek dimana ketrampilan peserta terhadap “pasien standard” (simulasi atau nyata) dinilai dalam waktu 5 – 15 menit oleh satu atau dua penilai . Masing-masing “station” memiliki penilai tersendiri (tidak seperti penilaian tradisional dimana peserta ujian diuji seluruh ketrampilan dan pengetahuannya oleh satu atau dua penguji) 
Peserta ujian menjalani tahap penilaian secara rotasional dengan melewati keseluruhan station yang tersedia (umumnya sekitar 12 – 15 station). Dengan cara ini maka semua peserta akan melewati semua station yang sama. Ini merupakan perbaikan dari metode penilaian tradisional
oleh karena station dapat dibuat secara baku oleh kelompok profesi medis dan prosedur tindakan yang rumit dapat terlaksana tanpa membahayakan kesehatan pasien
Seperti yang tersirat dari namanya, disain OSCE adalah :
  • OBJEKTIF – semua peserta ujian dihadapkan pada station yang sama (walaupun bila yang digunakan sebagai materi adalah ‘pasien nyata” maka gejalanya akan bervariasi) dengan skema pengujian yang sama. Dalam OSCE , untuk tiap langkah kegiatan , penilaian peserta diberikan dengan cara penilaian yang sama sesuai dengan tingkat kebenaran dari prosedur atau langkah yang dilakukannya. Dengan demikian maka penilaian akan lebih bersifat objektif. Penilaian didasarkan hanya pada langkah yang dilakukan dengan benar atau yang dilakukan dengan kurang benar atau tidak dilakukan sama sekali.
  • TERSTRUKTUR – Station memiliki perintah yang jelas dan spesifik. Bila pasien yang digunakan adalah pasien “simulatif” , maka harus tersedia skenario yang jelas sehingga informasi yang diperoleh oleh semua peserta mengenai pasien sama , termasuk dalam hal ini , tampilan emosi “pasien” yang harus diperlihatkannya dalam konsultasi. Instruksi dibuat secara tertulis dengan baik sehingga peserta dapat menyelesaikan tugasnya dengan lengkap. OSCE harus terstruktur dengan baik dan meliputi semua elemen kurikulum termasuk rentang ketrampilannya. 
  • PENILAIAN KLINIK – OSCE di desain untuk aplikasi pengetahuan teori dan klinik. Pada saat pengetahuan teori diperlukan misalnya, menjawab pertanyaan dari penguji pada akhir station dengan pertanyaan yang baku dan jawaban yang diisikan dalam lembar penilaian hanya jawaban atas pertanyaan yang diberikan, jawaban diluar pertanyaan tidak dicatat dalam lembar penilaian.
 Sumber : Google

Apa itu Exit Exam?




Selama ini banyak pembicaraan mengenai Exit Exam menggantikan UKDI. Apa itu Exit Exam?


Exit Exam adalah bentuk uji kompetensi yang dilakukan sebelum mahasiswa lulus dan menyandang gelar dokter. Soal/materi yang diujikan di exit exam BUKAN dibuat oleh masing-masing FK, namun terstandarisasi dan seragam untuk tingkat nasional (seperti UKDI, SMBPTN, dan UAN). Begitu juga dengan penilaiannya.
Perbedaan Exit Exam dgn UKDI adalah pelaksanaannya yang dikembalikan ke fakultas kedokteran, yaitu :
1. Waktu pelaksanaannya yang sebelum kelulusan (peserta msh terikat sebagai mahasiswa fk)
2. Tempat pelaksanaannya di FK masing-masing, dan
3. Biayanya yang masuk dalam biaya pendidikan kedokteran, agar tidak memberatkan mahasiswa kedokteran.
Sehingga sebelum lulus Exit Exam, mahasiswa FK belum dapat lulus dari FK tersebut.

Exit Exam direncanakan untuk dilaksanakan pada periode Febuari 2014 dengan sistem CBT dan OSCE.